Free Daisy ani Cursors at www.totallyfreecursors.com
Catatan Seorang Hanifah :)

Sabtu, 15 November 2014

Coretan Pena dalam Sebuah Perjalanan









Jum’at, 23 Mei 2014 , pukul 20.00
Perjalanan itu dimulai pada malam ini, perjalanan meninggalkan kota Yogyakarta. Sebuah kota kecil  yang menurut banyak orang terasa nyaman. Ya, tentu saja menurutku juga. Karena sejak aku lahir hingga sekarang tumbuh dewasa aku tinggal di kota ini, kota yang menjadi saksi hidupku dari aku belajar berjalan hingga sekarang harus berjalan sendiri untuk menghadapi kehidupan yang keras. Malam ini aku harus pergi di Kota Batu, Jawa Timur. Bus yang aku tumpangi mulai berjalan dengan pelan. Pelan tapi pasti dan akhirnya benar-benar keluar meninggalkan kota itu. Entah mengapa aku merasa berat untuk meninggalkan, rasa rindu kepada kotaku  bahkan kamarku mulai menyelimuti di saat bus itu melaju melewati Solo, Kartasura, Sukoharjo hingga tidak terasa melewati Nganjuk, Ngawi, Ponorogo, Madiun. Setiap aku naik kendaraan pasti selalu memilih untuk duduk di dekat jendela karena satu alasan,” Aku ingin bebas melihat pemandangan luar tanpa ada yang menghalangi”. Ya, dan semalaman aku menikmati perjalanan itu, meskipun rasa kantuk datang menghampiri dan hanya bisa tertidur beberapa jam saja karena sering terbangun mungkin karena posisi untuk tidur yang menurutku kurang nyaman, AC yang dingin, dan perut yang lapar *karena terakhir diisi nasi pada siang hari*.  Setiap aku melewati kota baru, maka aku melihat bagaimana dengan lingkungan. Bagaimana dengan budaya dan masyarakat yang aku lihat?Apakah sama dengan kota kelahiranku itu, atau berbeda. Malam sudah menjelang pagi mungkin sekitar pukul 01.00 dini hari, mata ini enggan untuk terpejam dan aku melihat beberapa tukang becak yang masih di pinggir jalan dalam hati berkata.” Apakah hingga jam segini mereka bekerja untuk bisa menafkahi keluarganya?Apa tidak merasa lelah. Semoga Allah melancarkan rizki mereka. Aamiin.” 

Sabtu, 08 November 2014

KETIKA CINTA DATANG

 "Dila, ayo bangun sayang kamu hari ini OSPEK hari pertama masak mau datang terlambat!" Mama  mulai mengomel. "Aduh, Ma jam berapa ini?" dikuceknya mata perlahan. "Jam 5. Sayang, kamu jam 6 harus sudah sampe kampus kan?"kata Mama. Dila kaget dan segera berlari ke kamar mandi, siap-siap. Ya ini hari pertama Dila mengikuti OSPEK di kampus, sebuah universitas negeri yang ada di kota kelahirannya. Orang tua, tak ingin Dila jauh dari kampung halaman, padahal Dila ingin pergi sejauh mungkin untuk melupakan kenangan bersama seseorang, barang sejenak.
  
 Dila berhasil lolos dari hukuman para penegak kedisiplinan yang terkenal sangat tegas, apalagi soal keterlambatan."Dari mana aja kamu, kok baru datang? Teman-teman yang lain udah datang tuh?" kata Lia teman satu gugusnya. "Hufft aku bangun terlambat, semalam malah nonton drama Korea sampai nangis-nangis," kata Dila. Lia berdecak sebal. Dila tak peduli dengan omelan itu, matanya justru memperhatikan seseorang yang jauh di depan sana. Aldrian Pratama. Manis, baik, ramah, rajin, dan perhatian. Itulah kesan pertama yang dia tangkap, kemudian melahirkan kekaguman diam-diam. Aldrian juga baik dan peduli, buktinya waktu baru pertama kenal dia sudah membantu Dila mengeluarkan motor dari parkiran. Dia pikir ini saat yang tepat untuk move on dari mantannya yang kini berbeda universitas. Ahhh tapi kan  laki-laki di gugusku banyak yang hanya sekedar modus, renungnya.

Jumat, 07 November 2014

16 OKTOBER ~

Mungkin banyak orang berpikir bahwa hari di mana mereka ulang tahun adalah hari yang spesial. Bertambahnya usia setiap tahun memang sangat ditunggu-tunggu untuk dirayakan. Tetapi bukankah ulang tahun juga berarti umur kita semakin berkurang di dunia ini?Bagiku tanggal 16 Oktober di setiap tahun itu sama saja, yang berbeda adalah orang-orang di sekitarku, teman, usia, dan yang paling penting adalah pola pikir kita. Jelas beda melalui usia di 14 tahun ketika masih SMP dengan usia 20 tahun ketika sudah kuliah. Semakin bertambah usia maka otomatis dituntut untuk semakin dewasa. Oleh karena itu, aku bahkan kadang malas untuk mengingatnya apalagi di tahun ini. Karena kadang merasa bahwa belum mempunyai sikap yang pantas di usia ini. Masih banyak sifat-sifat yang belum bisa ditinggalkan yang seharusnya tidak dimiliki oleh seseorang yang berkepala dua.

Duapuluh tahun. Berapa nak usiamu sekarang?Kurang jelas? Iyaa duapuluh tahun. Bagiku usia duapuluh tahun adalah usia di mana kita harus menjadi manusia yang dewasa bukan? semakin tegar, semakin matang, semakin bijaksana, dan sebagainya. Lalu bagaimana denganku? Haha. Yah begitulah :). Sedang menikmati sebuah proses hidup, manis pahitnya, senang susahnya, yah namanya manusia hidup pasti banyak sekali cobaannya. Kalau hidup tanpa cobaan itu ibarat makan nasi tanpa sayur *begitu kata seorang teman SMA*. Senang dan bersyukur karena masih diberi umur dan kesempatan oleh Allah hingga duapuluh tahun ini, untuk memperbaiki diri, untuk menjadi muslimah yang lebih salihah, untuk mencapai semua mimpi-mimpi dan pastinya untuk memperbarui taubat.

Minggu, 28 Oktober 2012

Mimpi Itu Menjadi Kenyataan

Mentari baru saja terbit dari timur, embun pagi menetes pada dedaunan pohon yang ada di kebun belakang rumah. Rama, itulah keluarga dan teman-teman memanggilku. Berat rasanya untuk bangun pada pagi itu, bukan karena apa-apa tapi karena hari itu aku harus meninggalkan kampung halaman yang aku cintai, Tidak hanya itu, tetapi juga keluarga dan teman-teman yang aku sayangi dan banggakan. Hari itu aku harus pergi ke daerah Jawa Barat, untuk mengikuti tes akhir pada sebuah sekolah ikatan dinas. Jika memang aku diterima di sekolah itu maka aku harus tinggal di wisma sekolah itu. Tanpa alat komunikasi, tanpa keluarga, tanpa teman-teman yang selama ini selalu bertemu dan menemaniku. Terutama seseorang yang spesial, Nia namanya. Seorang gadis berjilbab yang menurutku sangat baik dan anggun. Kami sering sekali berkomunikasi tetapi dia tinggal di daerah yang jauh dengan tempat tinggalku. Kami sering sekali berbagi cerita entah itu hal yang menyakitkan atau menyenangkan, saling memberi semangat, saling memberi motivasi, dan masih banyak lagi. Aku memilih untuk meneruskan pendidikan di sekolah itu karena berdasarkan pertimbangan dari Nia juga.
Sebelum aku pergi mengikuti tes akhir itu aku berpamitan dengan Nia. Meskipun rasanya berat sekali dan aku yakin aku akan selalu menrindukan dia. Aku tidak bisa lagi mendengarkan ceritanya, aku tidak bisa menghibur dia disaat dia sedih, aku tidak bisa lagi menjadi tempat pelampiasannya disaat dia marah. Begitu jika dia, aku melihat dari bahasanya lewat pesan singkat bahwa dia seperti keberatan. Maka hari itu aku memuaskan untuk berkirim pesan singkat dengan dia karena jika di sekolah itu aku tidak bisa saling berkirim pesan karena tidak boleh menggunakan alat komunikasi. Akhirnya aku benar-benar harus pamitan sama dia da aku mengungkapkan bahwa aku sayang dia. Mau tidak mau, suka dan tidak suka. Bagaimanapun keadaannya aku harus pergi dan mengikuti tes akhir di sekolah itu, demi meneruskan pendidikan juga. Aku mengikuti tes masuk di sekolah karena juga sebatas namaku lolos untuk mengikuti tes akhir. Jujur aku tidak pernah berharap bisa masuk sekolah itu. Namun hal itu juga bukan berarti aku mundur begitu saja seperti tanpa dosa. Karena aku merupakan tipe orang yang memperjuangkan suatu hal dengan maksimal dan sungguh-sungguh meskipun itu tidak ada niat dari hati.. Siang itu aku berangkat menggunakan kereta api Taksaka jurusan Jogja-Jawa Barat. Selama perjalanan aku hanya terdiam membisu, melamunkan, dan membayangkan banyak hal. Membayangkan keluarga, teman-teman, terlebih adalah Nia. Begitu juga aku membayangkan bagaimana kalau aku di sana nanti. Sekolah ikatan dinas yang terkenal sangat disiplin dan sangat ketat peraturannya. Tanpa di sadari aku ketiduran. “Mas-mas maaf bangun mas ini sudah sampai di stasiun Jawa Barat,”panggil seorang pramugari kereta api. “Oh iya makasih banyak mbak,”jawabku sambil berdiri dan beranjak pergi meninggalkan stasiun itu menggunakan angkutan umum yang ada di stasiun itu. Akhirnya sampai juga aku di sekolah itu. Setelah dichek identitas oleh para senior aku diperbolehkan masuk. Baru sampai halaman sekolah aku sudah berdecak kagum dengan bangunan sekolah itu. Tempat yang sangat luas dan megah, sebelumnya aku tidak pernah menginjakkan kaki di tempat yang seperti ini.Mempunyai fasilitas yang benar-benar lengkap, semuanya ada. “ Ya Allah apa aku bisa bertahan di sekolah ini,” tanyaku dalam hati. Tentu saja diriku senidiri tidak bisa menjawab karena tidak tahu keadaan yang akan terjadi. Entahlah, aku akan melakukan semua sesuatu yang harus aku lakukan meskipun itu semua tanpa niat. Akhirnya aku mengikuti tes akhir itu, berusaha dengan sungguh-sungguh meskipun tidak tahu bagaimana nanti hasilnya. Dan sebuah pengumuman bahwa aku diterima di sekolah itu. Rasanya semua campur aduk. Jelas, antara kaget, bingung, heran dan bertanya-tanya pada diri sendiri. Tapi aku yakin itu semua sudah jalan takdir yang Allah berikan untukku, dan pasti banyak hal baik yang akan aku dapatkan. Aku yakin itu. Aku tinggal di wisma 19 bersama sembilan teman lainnya yang sama-sama dari Jogja juga, sebelumnya kami tak saling mengenal tapi karena harus 1 kamar maka kami harus saling mengenal, mengerti dan memahami karena kami adalah keluarga baru, selain itu juga tinggal bersama teman-teman dari Sumatra Utara. Sehari setelah pengumuman dan penempatan kamar semua siswa baru harus mengikuti pelantikan dan disumpah untuk menjadi siswa. Sekaligus sebagai upacara penyambutan para siswa baru. Berjuta pertanyaan ada dibenakku. “Rama kok kamu bisa yaa jadi siswa di sekolah ini, bahkan sekarang sudah hampir resmi,”konflik batin mulai terjadi disaat aku di depan cermin. Lamunanku kembali terjadi baru beberapa hari aku pergi, aku sudah merindukan semuanya. Saat yang aku tunggu tiba, rasanya grogi sekali disaat namaku dipanggil untuk maju ke depan, disematkan sebuah tanda berbentuk garuda pancasila dan juga benedera merah putih. Tanda bahwa aku sekarang benar-benar resmi menjadi siswa di sekolah itu, menerima semua peraturan yang ada, tinggal di tempat itu untuk beberapa tahun. Belajar dengan sepenuh hati dan sungguh-sungguh agar aku cepat lulus, Semua siswa baru berkumpul di aula untuk mendengarkan pengarahan dari para senior. “ Ayo cepat kalian, jangan lelet jalannya.. lama sekali,”bentak para senior. Pada acara itu diberitahukan semua peraturan di sekolah itu, apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Semua peraturannya sangat ketat, jika sekali saja dilanggar maka tidak akan mendapat ampun dan langsung mendapatkan hukuman. “ Ya Allah apa aku bisa bertahan di sini?;”tanyaku. Tinggal di sekolah itu rasanya seperti di penjara saja. Ya meskipun aku belum pernah merasakan hidup di penjara tapi sudah bisa membayangkan bagaimana rasanya. Hidup dibawah tekanan para senior yang galak. Setiap hari dibentak, dimarahi, dijahili. Tidak bebas mau pergi ke mana saja. Tidak hanya seperti di penjara mungkin juga seperti di sebuah pondok pesantren karena antara siswa laki-laki dan perempuan semua dipisah dan tidak bisa bertemu. Di sekolah itu semua didoktrin untuk ingat dengan orang tua. “Ibu aku merindukan kamu,”tangisku perlahan. Sejak didoktrin aku selalu ingat dengan orang tua dan selalu merindukan mereka. Maka aku berjanjia pada diri sendiri akan belajar dengan sungguh-sungguh dan mematuhi semua peraturan meskipun dibawah tekanan senior yang galak. Kalau misalnya mau nakal atau malas belajar maka aku segera ingat orang tua. Untuk makan sehari-sehari kami dijatah. Hanya dengan nasi putih, tempe atau tahu, sayur bayam, dan air putih atau the hangat. Rasanya lidah ini bosan untuk menyantap makanan itu. Tapi bagaimanapun makanan itu tetap harus dimakan, jika tidak habis saja hukuman menanti. Untuk orang yang mentalnya lemah pasti akan mudah down dan putus asa dengan keadaan di sekolah ini. Semua ada peraturannya, kegiatan yang monoton setiap hari dilakukan dan tekanan dalam pendidikan. Tapi bagiku hal itu tidak membuatku putus asa dan down begitu saja karena juga tidak bisa keluar sebelum proses pendidikan selesai. Hal itu justru membuatku memompa semangat diri sendiri, meskipun ladang putus asa. Setiap hari kegiatannya hanya lari pagi dan siang serta pengenalan kampus, saling berbagi cerita dengan teman-teman yang sama- sama dari kontingen Jogja. Kami semua sudah seperti keluarga rasanya, saling berbagi cerita, perhatian, di saat ada yang sakit saling merawat. Waktu aku sakit rasanya sangat membutuhkan Ibu karena beliau yang selalu merawatku tapi mereka semua memberiku perhatian dan merawatku. Malam itu aku termenung sendirian di teras wisma. Lamunanku kembali teringat dengan orang-orang yang aku sayang. “ bagaimana keadaan mereka ? bagaimana kabar orang tuaku? Bagaimana kabar Nia? Apa dia sedang menangis sedih ?. Dibenakku muncul bayangan wajah mereka semua. Aku teringata bagaimana Nia memberik semangat dan dorongan. “ Ya Allah lindungi mereka semua, orang yang aku sayang,” Dan aku berjanji pada diriku sendiri aku akan belajar dengan sungguh-sungguh dan cepat menyelesaikan pendidikan di sekolah itu. Masih banyak mimpi yang belum aku wujudkan. Dan aku yakin pasti aku bisa. Seperti mantra dalam Novel Negeri 5 Menara “MAN JADDA WA JADDA” Siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Allah pasti akan membantu semua hamba-Nya. Aku mulai terbiasa dengan kehidupan di sekolah itu ya karena sudah dilakukan setiap hari. Terbiasa dengan makanan, peraturan, tekanan dri para senior. Tidak terasa empat tahun sudah aku sekolah. Dengan belajar dan usaha yang sungguh-sungguh maka selama ini nilaku selalu baikdan juga memuaskan. Ujian akhir di depan mata, sebelum ujian libur panjang. Maka aku pulang dan meminta doa restu dengan orang tuaku, serta Nia meskipun itu hanya lewat pesan singkat, dan aku belajard engan sungguh-sungguh karena itu menentukan hasil akhirku. Ujian demi ujian telah aku lewati. Hasilnya sudah keluar dan aku mendapatkan nilai terbaik di sekolah itu. Ada senyum bangga dari orang tuaku di saat mereka menghadiri wisudaku. Ya senyum yang selama ini aku nantikan. Aku selama ini merasa bahwa aku tidak bisa membuat mereka bangga hanya membuat kecewa tapi kali ini aku bisa membuat mereka bangga. Sebuah universitas ternama di Amerika menawarkan beasiswa untukku untuk melanjutkan pendidikan di sana, bimbang rasanya. Ketika aku menemui Nia dengan senyum manis sambil berlinang air mata dia berkata,” berangkatlah mas, ini mimpimu yang selama ini kamu inginkan bukan? Jangan sia-siakan kesempatan itu. Insya Allah ini yang terbaik untukmu. Aku akan selalu menunggumu….” Sebuah kata yang menyejukkan hati. Hari itu juga aku berangkat ke Amerika, tapi itu tanpa aturan ketat dan setiap hari bisa berkomunikasi. Aku belajar dengan sungguh-sungguh dan dua tahun sudah aku lewati. Hari itu kembali aku akan melaksanakan wisuda, kembali aku lihat senyum bangga dari kedua orang tua bercampur haru. Setelah sampai di Indonesia aku bekerja pada sebuah kantor pemerintahan. Hari itu.. Aku telah resmi menikah dengan Nia. Setelah sebuah penantian yang sangat panjang. Inilah buah kesabaranku. Semua mimpiku telah menjadi kenyataan, dan ini semua tidak lepas dari campur tangan Allah. Terimakasih ya Allah atas semua nikmat dari-Mu entah bagimana caranya aku harus bersyukur kepada-Mu. Terimakasih, aku mencintai-Mu ya Rabb………….

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India